
Ide Pendaftaran merek Logis VS Emosional, Mana Lebih Unggul? Efektifitas kesuksesan suatu pendaftaran merek bisa disebutkan sejumlah besar sebab factor komunikasi sebab merek tersebut merupakan alat berkomunikasi untuk produsen ke customer. Saat kita awali mengcreate satu merek karena itu harus tentukan taktik komunikasi yang efisien atau pas target.
Banyak teori atau tehnik komunikasi dalam lakukan aktivitas membuat pendaftaran merek yang tentu saja terus akan bersambung pada aktivitas iklan atau promo yang pada akhirnya jadi gelaran pertempuran di pasar, juaranya pasti yang bisa mengaplikasikan taktik dengan pas untuk tempatkan status brand-nya di pikiran customer.
Dalam kerangka komunikasi merek berikut penulis pengin membahas satu perihal yang kerap diacuhkan atau terlewatkan hingga menjadi salah satunya pemicu tidak berhasil atau kekalahannya pertempuran di pasar. Dalam masalah ini penulis bukan pengin memperbandingkan mana teori yang betul dan mana yang keliru, tetapi lebih ke implementasi taktik pada kerangka yang pas dengan keadaan yang ditemui.
Secara simpel customer bisa dipisah jadi dua barisan, yakni customer yang cenderung pilih pendaftaran merek secara logis dan yang pilih secara emosional. Sesungguhnya tiap customer memiliki dua faktor ini, tetapi kita harus pahami dan mengenali benar yang mana lebih menguasai. Bahkan juga tipe customer rasionalpun rupanya pada kerangka dan keadaan spesifik bisa jadi menguasai pada segi emosionalnya.
Dalam artikel pendek ini penulis tidak mau panjang lebar berbicara permasalahan teori, sebab penulis selaku pegiat lebih mengutamakan pada beberapa contoh ringkas di lapangan, tetapi jika pembaca pengin lebih dalam mencari teorinya karena itu bisa membaca teori Sigmun Freud seorang figur psikoanalis berkenaan otak bawah sadar yang mengatur sejumlah besar sikap.
Ada beberapa contoh tidak berhasilnya komunikasi merek atau iklan berkaitan permasalahan ini, tetapi yang paling mudah kita bisa menyaksikan pada ide kampanye anti rokok versus iklan rokok. Perbedaan ide ini pernah penulis bahas pada buku Paket Yang Jual, yang pernah diedarkan oleh Gramedia di tahun 1999.
Dalam ide kampanye anti rokok nampak terang iklan ini usaha berbicara secara logis mengenai imbas jelek merokok, bahkan juga pemerintahan mengharuskan pencantuman text jika merokok bisa memunculkan bermacam penyakit, iklan-iklan dengan banyak sekali kalimat panjang yang merinci apa toksin-racun yang ada dalam kandung tembakau ini benar-benar sangat logis dalam memacu bermacam penyakit.
Iklan seperti ini tidak salah, tetapi kurang disertai dengan formasi emosional yang malah semestinya lebih menguasai, hingga jadi tidak maksimal. Beberapa pesan logis seperti ini menyengaja ditujukan pada otak sadar, tetapi harus diingat jika sejumlah besar opsi customer untuk merokok banyak dikuasai oleh factor emosional, dan pemahaman berkenaan kepuasan merokok malah ada pada otak bawah sadar. Nah disini medan pertarungan yang sesungguhnya yang serupa sekali tidak disentuh oleh iklan kampanye anti rokok.
Lantas apa yang dikerjakan oleh iklan rokok? Ide iklan rokok malah lebih tepat masukkan stimuli ke otak bawah sadar, dengan benar-benar inovatif membuat simbol-simbol pola hidup yang paling kolaborasi dengan watak sasaran konsumennya, dan harus dipahami jika untuk mendapati keyword di otak bawah sadar ini bahkan juga perusahaan rokok Marlboro sempat lakukan penelitian dan menukar seringkali ide brand-nya, yang awalannya diperuntukkan pada fragmen wanita hingga kemudian jadi produk jantan. Kami siap membantu anda dalam pendaftaran merek dagang.
Penulis perhatikan ide kampanye iklan anti rokok dari pemerintahan mulai sedikit berbeda semenjak diharuskan pencantuman gambar orang sakit pada iklan atau paket rokok yang disebut tindak lanjut PP No. 109 Tahun 2012 dan Permenkes No. 28 Tahun 2013 Mengenai Pencantuman Peringatan Kesehatan Dan Info Kesehatan Pada Paket Produk Tembakau. Ya… kemungkinan mulai usaha untuk bertanding di otak bawah sadar.